Buku Sufisme Nusantara: Sejarah Pemikiran dan Gerakan

Sejarah masuknya Islam ke nusantara pada umumnya mengacu pada peran pedagang yang tidak hanya kepentingan niaga, tetapi juga menyebarkan agamaIslam. Teori sejarah penyebaran Islam ini dikenal dengan teori Gujarat, Mekkah, Persia, hingga China.

Namun demikian, selain peran pedagang di atas, terdapat aktor lain dalam proses “islamisasi nusantara”, yaitu peran kaum sufi. Buku Sufisme Nusantara: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (2019), karya Dudung Abdurahman (dosen Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) dan Syaifan Nur (dosen Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ) mengokohkan argumen peran sufisme dalam penyebaran Islam di nusantara.

Duet pengkaji tasawuf nusantara tersebut menelusuri peran penting sufisme melalui pendekatan sejarah, abad 13-16 sebagai cikal bakal lahirnya organisasi tasawuf yang di kemudian hari dikenal sebagai tarekat pada abad 17-19. Lalu berlanjut sejarah dan perkembangan sufisme tarekat pada permulaan abad 20, masa kemerdekaan, hingga kontemporer pada objek studi TQN Suryalaya, Idrisiyah, dan Tijaniyah.

Pendapat tentang islamisasi nusantara melalui tangan sufisme yang dikemukakan Dudung Abdurahman dan Syaifan Nur ini tentu bukan sebagai peneliti pertama yang mengatakan demikian. Jauh sebelum itu, adalah Anthony H. John, tahun 1961, yang berpendapat bahwa agen islamisasi nusantara yang paling berjasa adalah kaum sufi, di mana hampir semua daerah yang pertama memeluk Islam bersedia menukar kepercayaan asalnya lantaran tertarik oleh ajaran tasawuf.

Kesimpulan John kemudian dikenal sebagai “teori sufi”, dengan tambahan informasi bahwa proses Islamisasi sufistik ini setidaknya telah berlangsung sejak abad 13 M. Di tangan kaum sufi, Islam disajikan dalam kemasan atraktif, khususnya dengan menekankan kesesuaian tradisi lokal dengan Islam, sehingga keberadaannya kala itu lebih sebagai kontinuitas masa silam penduduk pribumi ketimbang perubahan dalam kepercayaan dan praktik keagamaan mereka.

Menurut historiografi lokal, di Kedah, misalnya, Islam disebarkan oleh Syekh ‘Abdullah, seorang ulama sufi, pada tahun 531 H yang termasuk abad 13 M. Setelah itu, di Patani, terkenal pula Syekh Shafiyyuddin al-’Abbasi sekitar tahun 1400 M. Hal ini berarti bahwa sejak itu tasawuf sudah banyak dikenal oleh penduduk Nusantara.

Selang beberapa waktu kemudian, ketika Aceh mulai berkembang menjadi Kerajaan Islam, banyak pula ulama sufi pendatang yang menyebarkan ajaran-ajaran mereka di Nusantara, seperti Syekh Abu al-Khair ibn Syekhz ibn Hajar dan Syekh Muhammad al-Yamani yang asal Mekkah sekitar 990 H/1582 M). Kedua Syekh ini diduga datang ke Aceh melalui Yaman.

Paham tasawuf wahdat al-wujud mereka kemudian disokong oleh Syekh Hamzah al-Fansuri dan murid beliau Syekh Syams al-Dn al-Sumatrini (w 1039 H/1630 [1661] M), serta Syekh Muhammad Fadlullah Burhanpuri al-Hindi (w 1029 H/1619 M).

Mileu nusantara di zaman itu memang lebih didominasi kecenderungan mistik, di mana ilmu sihir dan tenung sedang di atas angin.

Menjadi logis karenanya setiap orang yang baru memeluk Islam juga akan cenderung menggemari ilmu tasawuf. Kenyataan ini juga beriringan dengan kecenderungan setiap muslim yang mendalami agamanya untuk menjadi penyebar Islam karena dianggap amal yang paling mulia, dan bahkan jika harus menghadapi maut dalam konteks perjuangan itu diyakini sebagai syahid.

Buku setebal 209 halaman ini, merekam cukup baik dinamika sejarah dan perkembangan sufisme dari masa ke masa, hingga zaman sekarang. Selamat membaca.

(Ali Usman)