Kepongahan Sains?

Di tengah situasi pandemi COVID-19 yang berlangsung saat ini, kita berada di suatu titik di mana kita bisa mempertanyakan lagi berbagai macam hal yang sekiranya relevan dengan kondisi sekarang. Ini termasuk hal-hal fundamental yang pada situasi normal kita andaikan begitu saja. Sekarang hal-hal tersebut terbuka untuk kita pertanyakan relevansinya.
Bagi mereka yang menggeluti filsafat, pertanyaan ini tidak asing lagi. Hampir di setiap waktu dan jaman, filsafat selalu digugat dan dipertanyakan relevansinya atas bermacam hal. Gugatan ini bukan hanya dari luar bahkan dari dalam diri filsafat itu sendiri. Ketika situasi pandemik seperti sekarang pun orang tidak asing lagi untuk mempertanyakan relevansi filsafat. Karena biasa digugat dan dipertanyakan, tidak ada keguncangan berarti atas pertanyaan-pertanyaan ini. Situasi seperti ini kadang malah memberikan terobosan penting dalam pemikiran filsafati.
Lain halnya dengan agama misalnya. Pada situasi seperti sekarang, orang banyak yang bertanya kontribusi apa yang dapat diberikan oleh agama? Pada kasus-kasus tertentu bisa muncul pertanyaan apakah agama alih-alih memperbaiki keadaan tetapi malah menambah buruk situasi? Apakah agama masih relevan dengan kondisi saat ini? Pertanyaan seperti ini tidak mengherankan akan memberikan guncangan karena yang dipertanyakan relevansinya adalah hal-hal yang fundamental. Persoalan ini sementara saya tunda dulu untuk beralih ke pembahasan berikutnya.
Hal fundamental lain yang dipertanyakan relevansinya atas persoalan pandemi saat ini adalah ideologi. Ideologi adalah usaha manusia untuk menjawab berbagai persoalan terutama setelah masa Revolusi Industri hingga persoalan dewasa ini. Ideologi-ideologi yang ada telah saling berkompetisi untuk berusaha memberikan jawaban yang paling relevan atas pertanyaan-pertanyaan yang ada. Hingga awal abad XXI ini, ideologi demokrasi liberal dengan sistem ekonomi pasar adalah ideologi yang paling berhasil di antara ideologi-ideologi yang lain. Eropa Barat dan Amerika Utara adalah acuan utama bagaimana ideologi ini dijalankan.
Pandemi COVID-19 ini membuka Mata bagaimana negara-negara dengan ideologi demokrasi liberal dan sistem ekonomi pasar kewalahan menghadapi situasi ini. Rumus-rumus dan jurus-jurusnya seakan tidak berdaya terhadap keadaan. Tidak hanya itu, mereka yang biasanya adalah negara-negara adidaya, saat ini justru menjadi episentrum dari pandemi global.
Negara-negara yang berhasil mengendalikan pandemi justru negara-negara Asia Timur seperti Taiwan, Hongkong, Vietnam, Korea Selatan, Jepang, RRC yang sistem ideologinya berbeda dengan negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Utara. Jadi tidak heran jika kita mempertanyakan kembali ideologi liberalisme dan kapitalisme pada situasi sekarang. Apakah liberalisme dan kapitalisme masih relevan? Jika tidak apakah alternatif penggantinya? Semuanya terbuka untuk dibicarakan kembali.
Untuk sementara umat manusia harus melupakan perbedaan agama dan perbedaan ideologi yang ada. Harapan untuk menyelesaikan persoalan ada di tangan sains. Di antara agama, ideologi, dan sains; sainslah yang paling relevan pada situasi sekarang. Bagaimana seseorang harus berperilaku? Saat ini sainslah yang menjadi rujukan utama. Bila pandemi ini berakhir? Semuanya menunggu hingga sains menemukan vaksin bagi virus ini.
Situasi ini membuat orang membanding-bandingkan antara agama/ideologi dengan sains. Ketika satu pihak kehilangan relevansi sementara pihak lain menjadi tumpuan harapan, ada perasaan di pihak yang kehilangan relevansi bahwa pihak yang menjadi tumpuan harapan itu pongah. Ketika beraktivitas dan memberikan pertimbangan teknis, sains memang tidak memperhatikan pertimbangan agama/ideologi. Baru setelah persoalan teknis selesai (misalnya vaksin telah ditemukan), agama/ideologi bisa berperan.
Apakah dengan tidak menghiraukan pertimbangan agama/ideologi, sains bersikap pongah dan merasa penting sendiri? Tidak. Justru watak sains jauh dari pongah. Sains bekerja justru dengan membuka diri terhadap kesalahan. Sains bekerja lewat falsifikasi bukan justifikasi. Pada masa pandemi ini kita bisa melihat bagaimana sains bekerja mengoreksi kesalahan yang ia perbuat, misalnya dalam persoalan penggunaan masker. Ketika ada kesalahan ia tidak malu mengoreksi kesalahan sebelumnya. Pertanyaan saya, bersediakah agama/ideologi melakukan koreksi serupa? Alih-alih pongah, sains justru bersikap rendah hati. Sebaliknya, sikap anti-sains justru semakin marak dewasa ini.
Bagaimana dengan kondisi Indonesia? Lebih dari tujuhpuluh tahun yang lalu, Datuk Ibrahim Tan Malaka menulis "Madilog". Teks ini ditujukan kepada masyarakat Indonesia yang pada saat itu masih banyak menggunakan logika mistika agar berangsur beralih ke logika dialektik-saintifik. Setelah memasuki abad XXI, ternyata bangsa kita belum beranjak jauh. Saya tidak tahu bagaimana komentar Tan Malaka jika mengetahui anak bangsanya sekarang yang walaupun ditangannya terdapat telepon genggam yang mampu mengakses pengetahuan dari seluruh dunia tapi di kepalanya masih menganut logika mistika.
Kutipan ini relevan untuk situasi sekarang,"The real problem of humanity: we have Palaeolithic emotions, medieval institutions and godlike technology".
Ironis kemajuan teknologi sering kali tidak diiringi dengan kemajuan pola pikir. Sayang sekali.
*Novian Widiadharma, dosen Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta