Berjarak pada Jarak
Ada jarak yang membuat manusia berseberangan. Pada dirinya dan diri orang lain. Jarak berseberang berlabuh pada kemenerimaan diri untuk bersegera mengambil posisi, sikap, dan kesan. Diri(ku), atas kepasrahan untuk mengiyakan kehidupan ada pada posisi berjarak. Jarak yang pada mestinya tak boleh bersikap manut. Jarak perlu dinegatifkan. Alih-alih posisi jarak positif mengumandangkan kemenerimaan sifat pada(ku).
Jarak negatif ada pada pergumulan kelahiran kepada kemenjadian diri. Kelahiran dan kemenjadian mesti menegatifkan atas alasan bahwa kelahiran melahirkan sebuah fakta realis yang tak dapat diubah. Berubah adalah konsep jarak negatif. Dengannya diri tidak menuruti keberlahiran subjek diri melainkan hadir pada subjek singular sebagai pengambil jarak.
Jarak positif, setelah hadir subjek diri yang singular, menjadi ancaman setelah ada pengambilan jarak yang timbul. Jarak positif membisukan kelahiran akan segala realitas yang seakan-akan mati fakta, mati rasa, gigit jari pada realitas yang sudah—oleh pihak dogmatis—ada pada tatanan rapi dan kaku.
Determinisme bersuara atas konsep pendalihan eksesif yang segalanya teratur berdasarkan pola-pola yang transendental. Konsep tragis yang dibentuk. Tragis, karena sukar dibongkar fondasinya, padahal realitas ada untuk dimengerti bukan selayaknya rapi. Pola-pola transendental dimengerti sebagai bentuk positivitas bukan negativitas. Jarak negativitas hadir di dunia dan jarak positif hadir di sana, ada di sana, bukan di dunia.
Dengan subjek ada(ku) dan subjek lain, posisi pengambilan jarak terletak pada bentuk baru yang lahir akan sebab diri berkamuflase untuk menjadi sesuatu yang baru. Kebaruan itu pun bukan berarti keterlahiran namun sebuah jarak yang mampu menghadiarkan sistem tindakan berbeda sehingga kemampunspeech-act-nya mampu hadir dalam wajah baru.
Pada tatanan jarak, memang, konsep analogis tidak pada penguntungan satu sama lain. Artinya pula konsep tersebut hendak menghadirkan sesuatu atau seseorang yang baru tapi tetap bukan pada kelahirannya. Memperjelas wajah baru subjek singular sebagai pengambil jarak telah dimengerti dengan baik oleh Kierkegaard.1Bagi Kierkegaard diri adalah sebuah sintesis. Sintesis yang bukan dari subjek asal dan juga bukan lawan komunikasi subjek. Sintesis itu relasi terhadap hal yang membuat subjek asal hadir pada relasi baru. Sebuah diri ada atau terbentuk baru dari relasi-relasi terhadap hubungan keduanya; sintesis A sebagai relasi awal, sintesis B sebagai relasi kedua, relasi AB sebagai relasi pengahadiran. Kita akan bermain di sintesis AB.
Ada yang berbeda untuk Kierkegaard untuk pola sintesis subjek. Subjek kemenjadian akhir sintesis AB berbentuk positif sehingga belum sebagai pengambilan jarak. Bagaimana agar sintesis AB mampu berbentuk subjek singular yang negatif? Pengandaian singular adalah pihak ketiga yang bukan pada diriku dan pada dirinya namun pada diri yang lain. Bila sintesis AB tidak dan masih belum negatif maka setidaknya sintesis tersebut perlu berkamuflase pada titik perubahan dengan pola penghadiran pengambilan jarak. Hal apa yang membuat subjek penghadiran pada sintesis AB masih tetap sama dengan sintesis awal dan sintesis selanjutnya harus berupa refleksi negatif. Sebab relasi subjek singular adalah bersifat reflektif misalnya seorang Dokter hendak memeriksa seorang pasien maka dokter tersbut tetaplah seorang Dokter sesuai format aturan semula. Pada sisi reflektif relasi sintesis AB dengan tiba-tiba, pada momen lain, berupa bukan sebagai Dokter tetapi sebagai subjek baru yang reflektif.
Posisi seorang Dokter tidak terikat pada profesionalismenya sebagai tuntutan namun terletak pada pengahadiran subjek diri yang baru—Kierkegaard menganggap ini konsep yang positif—yang hal sebenarnya bisa dilakukan. Masa depan subjek tidak usai pada pola awal tapi memang tidak ada keberusaian. Ketika hendak menghadirkan subjek baru, keberusaian justru bukan sesuatu yang tidak akan pernah ada. Sebab ia selalu baru. Dunia subjek ada pada kebaruan yang terus-menerus baru dan selamanya akan tetap pada kebaruan dengan sifat reflektifnya itu tersendiri. Sejauh mana kebaruan subjek akan terus ada?
Yang baru berarti yang mengambil jarak (subjek). Yang lama berarti yang diam (subjek). Mengulang uraian Kierkegaard bahwa subjek relasi AB adalah bersifat telelologis namun dalam konsep ini ia tidak berteleologis tapi bersubjek yang hadir untuk tidak bagi siapa-siapa penghadiran tersebut tetapi untuk diri dan dunianya sendiri. Apakah dengan demikian bersubjek ini mempunyai sikap ambivalen? Belum. Menjadi ambivalen justru terletak pada relasi sintesis B karena hadir untuk kedua kalinya misalnya “seseorang” ke “Dokter”, maka sintesis AB adalah kembali baru jadi seseorang yang benar-benar baru. Ini yang membuat subjek ada dan berada pada lingkaran dunia dengan pola singular tadi.
Adalah Desacartes, misalnya, “seseorang” lalu ke “Descartes” bukan apa-apa tetapi pada kelahiran subjekcogitoia justru baru pada keberadaan yang sekaligus justru juga baru. Jika kita bermain pada pola positivitas Kierkegaard bahwacogitojustru adalah konsep positif dengan dugaan bahwacogito masih tetap Descartestetapi pada kebaruan ia kembali pada seseorang yang terbuka untuk menjadi “yang lain”. Ini barangkali yang jarang kita temui konsep singularitas pada pikiran ontologis subjek sebab ia antara prasyarat reflektif atau diam pada mempertahankan kelamaan subjek.
Subjek baru adalah diri yang benar-benar pada kebaruan.
1Bisa dibaca uraian ketat Soren Kierkegaard dalam bukunyaThe Concept of Irony SocratesdanKierkegaard’s Romantic Legacy: Two Theories of The Self(2005).
Mohammad Hakim MB., mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam 2016, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta