Objek Non-Eksis dalam Gegenstands Theorie
Dua Ekstrem Realitas
Manusia hampir selalu dihadapkan dengan dua ekstrem yang saling bertolak belakang satu sama lain, yang sayangnya secara umum cenderung diterima begitu saja. Hitam-putih, atas-bawah, cahaya-kegelapan, kanan-kiri, nyata-ilusi, benar-salah, baik-jahat, indah-jelek, sampai yang paling mendasar yaitu antara ada dan tiada atau ketiadaan. Manusia pun pada akhirnya selalu dihadapkan dengan dua pilihan ekstrem dalam menjalankan kehidupannya. Seolah mau tidak mau manusia harus memilih salah satu di antaranya ataupun mencari alternatif lain di luar itu. Terlebih lagi justifikasi, legitimasi, atau bahkan hanya klaim sepihak semakin kuat terhadap salah satu yang harus dipilih, diperhatikan dan dipegang erat dalam kehidupan manusia secara universal.
Dengan demikian yang akan dianggap penting hanyalah putih, atas, cahaya, kanan, nyata, benar, baik, indah, dan tentunya Ada itu sendiri. Jika itu diterima begitu saja, lalu apa artinya ekstrem-ekstrem sebaliknya? Perlukah kita abaikan bahkan dibuang begitu saja? Bukankah itu konsekuensi prinsip identitas dari segala realitas yang ada dalam jangkauan manusia? Begitu juga dengan objek non-eksis (tidak ada), apakah itu tidak ada artinya sama sekali dalam kehidupan manusia?
Paradoks dan Isi dari “Objek Non-Eksis”
Mungkin secara umum kalimat “objek non-eksis” terlihat sangat janggal, melihat hal tersebut terkesan sangat paradoks. Objek merupakan titik sasaran konkret yang secara umum sudah terbukti keberadaannya, atau setidaknya disepakati keberadaannya. Sedangkan non-eksis menunjuk pada sesuatu yang jelas-jelas tidak ada. Bagaimana itu dapat dirangkai dalam satu kalimat yang padu dan memiliki arti jika masing-masing kata saling bertolak belakang satu sama lain? Apakah kalimat tersebut dapat dibenarkan? Untuk menjawabnya perlu dilihat penekanan pada arti kedua dari kata “objek”, yaitu titik sasaran yang setidaknya disepakati keberadaannya. Juga kata kedua dalam kalimat tersebut, yaitu kata “non-eksis,” apakah yang dimaksud dengan sesuatu yang “tidak ada”? Maka yang dimaksud dengan “objek non-eksis” adalahtitik sasarankonkret yangtidak adanamun setidaknyadisepakatikeberadaannya. Jika memang demikian, adakah sesuatu yang dapat mewakili kalimat “objek non-eksis” tersebut? Adakah sesuatu yangtidak adanamun dapat dijadikan objek?
Jawabannya mungkin sedikit mengecewakan, namun hal itu sebenarnya tidak jauh dengan kehidupan sehari-hari manusia hari ini, bahkan hampir semua orang sangat dekat dengannya yaitu,dunia fiksidanimajinasi. Seperti halnya makhluk-makhluk semacam unicorn, pegasus, naga, monster, manusia super, dan sebagainya yang memang itu tidak ada namun dapat dijadikan objek dalam kehidupan manusia. Namun bagi yang mungkin kecewa dengan jawaban ini, tidakkah mereka menyadari adanya keganjilan yang justru memunculkan pertanyaan baru? Jika dunia fiksi dan imajinasi itu benar-benar tidak ada, kenapa hal seperti itu dapat dipikirkan oleh manusia? Bukankah setidaknya jika tidak ada secara fisik, hal tersebut memang ada di pikiran manusia. Lalu apa artinya dunia fiksi dan imajinasi yang ada di pikiran manusia jika itu tidak ada secara fisik? Maka dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, selanjutnya akan dibahas mengenai objek non-eksis dalam perspektifgegenstands theorieyang dikemukakan oleh filsuf Austria bernama Alexius Meinong (1853–1920).
Ekstensionalis vs. Intensionalis
Jika berbicara mengenai objek non-eksis dalamgegenstandstheorie, kita perlu menjelajah kembali masa lalu di mana terdapat perdebatan antara pengikut ekstensionalisme dalam positivisme logis dengan para intensionalis dalam fenomenologi, terkait dengan permasalahan ontologi. Ekstensionalisme memiliki konsep ontologi yang cenderung bertumpu pada logika semantika (kebahasaan). Suatu pernyataan bernilai benar dan logis apabila itu merupakan entitas ekstensional (berdasarkan proposisi yang benar dari predikatnya). Oleh karena itu perlu adanya reduksi makna dan kebenaran untuk menetapkan hubungan logis antara istilah-istilah dalam bahasa & benda-benda fisik (material) yang bersifat positivistik (antaraabstract entitiesdenganspatiotemporal entities). Seperti halnya pernyataan bola itu bundar, roda itu lingkaran, dan lain sebagainya. Bola dan roda merupakan entitasspasiotemporal, sedangkan bundar dan lingkaran adalah entitasabstrak. Karena keduanya adalah fakta yang saling terhubung dalam kenyataan, maka kedua pernyataan itu bernilai benar (bermakna) dan logis.
Selain itu terdapat konsep “ekstensi khusus dari nama objek,” untuk menunjukkan kekhasan suatu objek. Konsep ini menyatakan bahwa objek tertentu dapat diwakili oleh sifat-sifat dari predikat dalam suatu proposisi (pernyataan). Seperti contoh pernyataan berikut, “semua paus adalah mamalia” atau “semua paus bernafas dengan paru-paru.” Pernyataan tersebut bernilai benar asalkan tidak ada paus yang bukan mamalia atau bernafas dengan insang. Pada dasarnya terdapat tiga syarat konteks bahasa yang bersifat ekstensional.Pertama, proposisi hanya merujuk pada benda-benda positivistik (fisik-empiris).Kedua, subtitusi proposisi yang secara logis berkedudukan setara atausalva veritate(tanpa kehilangan nilai benar). Seperti halnya pernyataan bola itu bundar dapat diganti bola itu bulat atau pun lonjong, namun tanpa menghilangkan nilai benar suatu objek yaitu “bola” dalam proposisi tersebut.Ketiga, pernyataan sah secara logis dengan ukuran eksistensial (ada objek yang seperti itu atau terverifikasi ada) sebagai objek yang dirujuk dalam konteks bahasa. Maka pada intinyapredikatatauekspresidari suatu proposisi (pernyataan) adalahekstensi. Sedangkanekstensimerupakanpusat maknaataunilai-benar(logis) dalam ontologi dan logika ekstensionalisme.
Namun konsep ontologi tersebut disanggah oleh kaum intensionalis, dengan mempertanyakan apakah ekstensi pada suatu proposisi itu kebenaran atau hanya kepalsuan? Kenapa demikian, karena prinsip logika ekstensional hanya melihatpertama, ada dua istilah tunggal yang memilikidenotasi(konvensi atau kesepakatan objektif) identik.Kedua, nilai-benar (bermakna) pada suatu proposisi harus mengandung istilah-istilah yang identik (bersesuaian ataucorrespondence). Seperti pernyataan “Bern adalah ibu kota Swiss,” yang hanya sah jika itu bersesuaian dengan fakta yaitu berada di Bern sekaligus juga di ibu kota Swiss. Bagi logika intensional, contoh tersebut tidaklah valid. Karena pernyataan ” Bern adalah ibu kota Swiss” hanyalah benar jika itudipercayadansesuai dengan faktadengan cara berada di Bern sekaligusyakinbahwa itu adalah ibu kota Swiss. Karena tidak semua orangyakinbahwa Bern itu ibu kota Swiss, bahkan bagi yang berada di Bern sekalipun.
Lebih lanjut kaum intensionalis mempunyai konsep tersendiri terhadap permasalahan tersebut. Kaum intensionalis mendasarkan konsepnya pada tesis intensionalitas, yaitu kesadaran (mental) selalu mengarah pada suatu objek. Nilai-benar (logis dan bermakna) tidak terikat dengan proposisi yang benar (punya predikat yang identik dengan objek secara positivistik). Karena nilai-benar positivistik sangat lemah jika dihadapkan dengan persoalan mental manusia. Seperti kata kerja tahu, ragu, heran, takut, percaya, niat, menyatakan, keinginan, dan sebagainya karena sebenarnya semua bersifat intensional. Maka dalam pernyataan “Bern adalah ibukota Swiss” harus dibedakan antara dua makna intensional yang ada di dalamnya, yaitu makna intensional antara ‘Bern’ dan ‘ibu kota Swiss.’ Keduanya dalam kesadaran manusia memiliki makna tersendiri yang tidak bisa diidentikkan satu sama lain.
Dalam konteks objek non-eksis yaitu dunia fiksi dan imajinasi, jelas itu ditolak oleh ekstensionalisme (positivisme logis) karena tidak bersesuaian dengan fakta (verifikasidengankorespondensi) atau disepakati secara positif secara umum (konvensi–denotatif). Jangankan dunia fiksi dan imajinasi, pernyataan seperti “Raja Prancis sekarang berkepala botak” saja sudah tidak benar dan logis menurut ekstensionalisme. Dikarenakan Prancis sudah sejak lama tidak memiliki raja lagi. Maka dengan itu atribut apa pun yang disematkan pada pernyataan mengenai Raja Prancis menjadi tidak benar. Dengan kata lain sumber suatu pernyataan sangat ketat sekali terhadap fakta yang ada (korespondensi), maka pernyataan tersebut bersifat imajiner dan tidak nyata. Berbeda halnya dengan kaum intensionalis, yang baginya pernyataan tersebut justru memiliki nilai makna, karena itu berkaitan dengan kesadaran (mental) manusia yang tertuju pada suatu objek. Walaupun objek tersebut tidak ada secara fisik sekali pun.
Gegenstands theorie(Teori Objek)
Salah satu filsuf penting yang mewakili tesis intensionalitas, sekaligus berpengaruh besar terhadap persoalan ontologis mengenai objek non-eksis adalah Alexius Meinong dengangegenstands theorieyang dikemukakannya.Gegenstands theoriememiliki arti secara terminologis yaitu teori objek. Teori ini muncul untuk memperjelas klasifikasi objek pada tesis intensionalitas sekaligus respon terhadap positivisme logis dengan logika ekstensionalnya. Selain itu teori ini juga muncul sebagai penolakan terhadap tesis intensionalitas imanen dari gurunya yaitu Franz Brentano (1838–1917). Meinong pun menawarkan tesis intensionalitas transenden, yang salah satunya ditegaskan melaluigegenstand theorie. Namun terkait dengan intensionalitas imanen dan transenden tidak akan dijelaskan lebih jauh, mengingat fokus utama tulisan ini pada objek non-eksis dalamgegenstands theorie.
Meinong dalam kaitannya dengan objek non-eksis berpendapat bahwa “Kita dapat memiliki pikiran-pikiran bermakna mengenai objek yang tidak ada (eksis) dalam realitas. Namun untuk dapat mengatakan bermakna mengenai sesuatu, hal tersebut dalam beberapa penilaian harus memiliki keberadaan.” Penilaian tersebut dalam teori objek Meinong memiliki konsep dan klasifikasi utama yang berkaitan dengan objek kesadaran manusia. Ia membedakan antara penilaian (judgement) tentang “yang ada” atauthe being(Sein) dari objek pemikiran yang dimaksudkan kesadaran, dengan penilaian (judgement) tentang “wujud” (so-being), watak atau sifat (karakter) atau hakikat-nya (Sosein). Objek yang dimaksudSoseintersebut tidak bergantung (independent) padaSeindalam hal status ontologisnya, mengenai apakah objek itu ada atau tidak.
Teori objek Meinong berevolusi selama beberapa tahun, dan mengalami banyak penambahan dan revisi. Dalam bentuknya yang matang, teori tersebut mencakup prinsip-prinsip sebagai berikut:
-
Pemikiran dapat dengan bebas (meskipun salah) mengasumsikan keberadaan objek yang dapat dideskripsikan (prinsip asumsi bebas yang tidak terbatas, atau tesisAnnahmefreiheit unbeschränkten).
-
Setiap pikiran sengaja diarahkan menuju objek yang transenden, pikiran-independen yang dimaksudkan oleh kesadaran (tesis intensionalitas yang dimodifikasi).
-
Setiap objek yang dimaksudkan kesadaran memiliki sifat, karakter, (hakikat)Sosein, “bagaimana itu adalah,” “so-being,” atau “ada demikian-dan-jadi” (being thus-and-so) terlepas dari status ontologisnya (kemandirianSoseindari tesisSein).
-
Ada (being) atau tidak ada (non-being) bukan bagian dariSoseindari objek yang dimaksudkan kesadaran, atau suatu objek yang dipertimbangkan dalam dirinya sendiri (tesis pengabaian atauindifference, atau doktrinAusserseindari objek murni tak bertempat tinggal).
-
Terdapat dua mode terhadap ada (being) atauSeinuntuk objek yang dituju: (a) keberadaan (eksistensi) spatiotemporal dan (b)subsistensiPlatonik (tesisExistenz/Bestand).
-
Terdapat beberapa objek yang dimaksudkan kesadaran yang tidak memilikiSeinsama sekali, tetapitidaksatupuneksisjuga bukan hidup atausubsist(objek yang benar bahwa tidak ada objek yang seperti itu).
Konsep Ontologi Alexius Meinong
Secara lebih sederhana konsep utama ontologi Alexius Meinong dapat diklasifikasikan menjadiSosein(so-being),Sein(the being), danNichtsein(non-being).Soseinmerupakan sifat, watak, hakikat, atauso-beingdari suatu objek kesadaran yang sekaligus adalah objek murni tak bertempat tinggal (Aussersein). Oleh karena ituSoseinmandiri dan tidak terikat olehSein(sifat keberadaannya). KemudianSeinyaitu “yang ada” atauthe beingyang terdiri dariBestanddanExistenz.BestandatauSubsistensimerupakan “ada” yang berupa abstraksi, konsep, angka, dan logika baik semantika maupun matematika. Instrumen yang dipakai untuk mengakses objek ini adalah rasio. Lebih lanjut dalam pengertian lain, subsistensi merupakan hal-hal seperti angka-angka dan kaidah matematis-logis, yang tidak mewujud pada suatu eksistensi secara fisik, tapi mereka juga tidak mengandung ketidakmungkinan. SedangkanExistenzatauEksistensimerupakan “ada” yang berupa benda-benda yang nampak dalam kesadaran manusia yang cenderung fisik atau material. Instrumen yang dipakai untuk mengakses objek tersebut adalah penginderaan (indrawi). Dengan pengertian lain, eksistensi adalah objek-objek yang benar-benar hadir dalam dunia fisik.
Klasifikasi terakhir adalahNichtsein(non-being) atauAbsistensiyaitu dunia fiksi seperti unicorn, monster, superhero dan sebagainya. Instrumen untuk mengakses objek tersebut adalah imajinasi. Walaupun diklasifikasikan sebagainon-beingbukan berarti dunia fiksi dan imajinasi tidak memiliki arti dan tidak penting. Justru objek non-eksis merupakan salah satu kunci dari keenam prinsip dalam teori objek, yaitu prinsippertamadankeenam. Dengan kata lain kesadaran (mental) manusia dapat dengan bebas berasumsi mengenai objek yang dituju terkait dengan keberadaannya, dan terdapat beberapa objek yang tidak memilikiSein(keberadaan) sama sekali, termasuk di dalamnya yaitu dunia fiksi dan imajinasi. Maka dalam pengertian lain secara sederhana, absistensi juga berarti segala objek yang mungkin dapat dipikirkan manusia.
Kesimpulan
Dari penjelasan padat di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep ontologi Alexius Meinong sangat terbuka dalam melihat kedalaman dan keluasan dimensi realitas yang ada dalam diri manusia. Tidak seperti ekstensionalisme yang sangat mereduksi makna dan realitas, dengan membuat ukuran baku yang harus berdasarkan dunia fisik-material semata. Oleh karena itu Meinong menekankan bahwa objek apapun dalam kesadaran manusia (meskipun tidak ada), terutama objek non-eksis (dunia fiksi dan imajinasi) harus diperhitungkan dalam memahami realitas kehidupan. Objek non-eksis dikategorikan Meinong sebagaiNichtseinatau Absistensi yaitu segala objek yang mungkin dapat dipikirkan manusia.
Maka titik tekannya bukan pada keberadaannya (ada atau tidak), melainkan makna di dalamnya. Dengan demikian ekstrem sebaliknya seperti hitam, ilusi, salah, tiada, dan seterusnya sudah sepantasnya diperhatikan dalam memahami kompleksitas realitas, karena pasti memiliki makna secara intensional. Bukan malah dianggap tidak penting dan ditinggalkan begitu saja. Dunia fiksi dan imajinasi tidaklah harus dipertentangkan dengan dunia fisik-material, yang secara umum dianggap lebih nyata. Melainkan keserbaterbatasan dunia fisik-material harus selalu dikolaborasikan dengan idealitas dunia fiksi-imajinasi. Dengan demikian akan membuat manusia memahami segala realitas dan menjalani kehidupannya menjadi jauh lebih baik. Tanpa terjebak dalam salah satu dimensi realitas antara fisik-material saja atau dunia fiksi-imajinasi semata.
Bayu Angga Hendra Kusuma, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam 2015, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta