Berbincang dengan Waktu
Berbincang – atau biasa disebut juga dengan berbincang-bincang – merupakan sebuah kegiatan yang maknanya serupa dengan bercakap-cakap, berbicara, mengobrol, dan lain sebagainya. Selayaknya kegiatan berbicara maka dibutuhkan setidaknya dua orang (pihak) dalam kegiatan tersebut, yaitu si subjek dan lawan bicaranya. Penggunaan kata “dengan” setelah kata “berbincang” menunjukkan bahwa dalam kegiatan berbincang tersebut melibatkan pihak aktif, yakni lawan bicara.
Berbeda halnya jika digunakan kata “tentang” setelah kata “berbincang” yang menjelaskan bahwa kata setelah kata “tentang” merupakan objek/topik pembicaraan. Topik apa pun yang sedang dibicarakan selalu menjadikan topik tersebut sebagai pihak ketiga yang sifatnya pasif. Misalnya “berbicara tentang fulan”, berarti adanya kegiatan pembicaraan dengan fulan sebagai objek/topik pembicaraan. Berbeda jika “berbicara dengan fulan”, maka hal itu berarti adanya kegiatan pembicaraan dengan fulan sebagai lawan bicaranya.
Lantas penggunaan kata “waktu” dalam judul di atas tentu bisa membuat sebuah pernyataan tampak ambigu. Mengulang logika pernyataan di atas, pengunaan kata “tentang” dapat mengakibatkan waktu sebagai pihak ketiga yang sedang dibicarakan. Padahal waktu tak pernah bisa terlepas dalam kehidupan. Akan lebih baik digunakan kata “dengan” karena kita tak pernah bicara dalam kondisimembelakangiwaktu. Waktu selalu hadir di setiap aktivitas kita.
Karena waktu tidak pernah terlepas dari kehidupan kita sedangkan kita hanya berkunjung sebentar di aliran waktu yang sangat panjang. Kita lahir ketika waktu sudah ada dan kita mati ketika waktu masih ada. Hal ini pun telah melahirkan perdebatan panjang di era para teolog dan filosof muslim klasik.1
Meskipun begitu sains modern menyatakan bahwa waktu memiliki permulaan. Permulaan waktu itu diawali dengan kejadian dentuman besar (Big Bang) yang terjadi 13,8 miliar tahun lalu.2Lewat kejadian itu ruang dan waktu tercipta. Artinya sebelum terjadinya dentuman besar (Big Bang) itu tidak ada waktu (t=0). Dalam keadaan yang sangat panas itu tiap detiknya terjadi penurunan suhu secara drastis. Dalam keadaan seperti itu hasil dari dentuman besar (Big Bang) tersebut saling bertubrukan dan secara bertahap membentuk miliyaran galaksi termsuk galaksi Bima Sakti (Milky Way). Meskipun suhu alam semesta semakin menurun, dan semakin memadat bagi benda-benda angkasa yang saling bertubrukan tersebut, nyatanya alam semesta terus mengembang seperti yang dijelaskan oleh Alexander Friedmann.3
Dengan adanya pergerakan yang sama antara ruang dan waktu menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan waktu bukanlah hanya apa yang selama ini kita kenal dengan adanya pergantian siang dan malam dan seterusnya. Perbedaan ruang dapat menyebabkan perbedaan waktu yang dialami oleh makhluk di ruangan tersebut.4Kemudian para fisikawan menyatakan bahwa benda hitam merupakan sebuah benda di mana hukum-hukum fisika yang selama ini dicetuskan tidak berlaku lagi. Benda hitam memiliki daya tarik yang kuat. Menyerap apa saja yang di dekatnya dan di kemudian waktu – menurut fisika kuantum – dapat terjadi letupan-letupan yang memancarkan radiasi benda hitam. Dengan adanya kondisi seperti ini menyebabkan waktu di sekitar benda hitam bergerak sangat lambat.
Kembali ke bumi di mana kita hidup yang membuat kita terperangkap dengan ruang dan waktua labumi. Tentu sudah ada upaya yang dilakukan oleh para saintis untuk membuat kehidupan baru di luar bumi. Usia bumi yang sudah 4,5 miliar tahun ini semakin mengkhawatirkan. Meskipun di tiap kerusakan selalu ada proses perbaikan kembali setelahnya namun menunggu bumi ‘kiamat’ untuk kemudian dimulai proses kehidupan yang baru tentu tidak memungkinkan untuk usia hidup manusia yang relatif singkat.
Walaupun sudah ada berbagai pengobatan untuk menjadikan manusia bisa hidup lebih lama (baca: abadi) namun tetap saja jika ruang tempat manusia tinggal tidak mampu memfasilitasi kehidupan yang baik bagi tubuh manusia tentu sedikit demi sedikit tubuh manusia akan semakin rusak. Pencarian planet baru atau membumikan planet lain (terraforming) masih membutuhkan waktu yang panjang. Namun bisa diprediksi bahwa tidak sampai satu milenium ke depan, generasi penerus manusia sudah mampu hidup di planet lain dan beradaptasi dalam waktu yang relatif singkat dengan adanya kecanggihan teknologi di masa mendatang.
Hal itu bukanlah suatu yang mustahil karena memang secara alamiah/naluri manusia berkeinginan untuk hidup abadi. Keinginan manusia untuk hidup abadi bahkan sudah diceritakan dalam mitos-mitos dengan cerita yang kurang lebih sama. Tak terkecuali dengan mitos agama Abrahamik yang menceritakan keinginan Adam dan Hawa (Eve) untuk hidup abadi. Cara untuk mengabadikan manusia secara individu tentu belum mampu dicapai oleh ilmu pengetahuan saat ini. Namun mengabadikan manusia secara organisme bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan. Jika proyek generasi manusia saat ini belum selesai maka sudah menjadi tugas generasi manusia berikutnya untuk menyelesaikannya.
Sebelum terlalu jauh terbang ke masa depan, mari kita kembali ke bumi saat ini dan memaknai waktu secara filosofis. Ialah Henri Bergson5yang merupakan salah satu filosof yang membahas waktu secara filosofis. DalamEssay on the Immediate Data of ConsciousnessBergson membagi waktu menjadi dua, yang pertama ialahtemps(waktu serial) yang berarti waktu yang dimengerti berdasarkan ruang.Tempsbersifat kuantitatif sehingga dapat diukur dan dibagi-bagi menjadi detik, menit, jam, hari, dst. Dengan waktu yang terbagi-bagi ini menyebabkan waktu bersifat saling pisah.
Yang kedua Bergson menyebut waktu sebagaidurée(durationatau durasi) yang berarti waktu yang dialami secara langsung dan terus-menerus. Itulah waktu yang bersifat kualitatif. Dengan adanya waktu yang terus terbarui bukan berarti waktu yang satu dengan yang lain (sebelum atau sesudahnya) terpisah melainkan kita harus melihat waktu secara keseluruhan.6
1Perdebatan tentang apakah waktu bersifat temporal (bermula) atau sudah ada sejak awal (azali). Hal ini mengakibatkan perdebatan panjang di kalangan para teolog dan filosof muslim khususnya serangan dari al-Ghazali lewat bukuTahafut al-Falasifah.Keabadian dan keazalian alam melibatkan waktu di dalamnya.
2Kisaran 13,8 miliar tahun ini merupakan hasil kesepakan terakhir para peneliti. Sebelumnya Carl Sagan, seorang ilmuwan astrofisika, pada tahun 1980 lewat bukunyaThe Dragons of Edenmenyebutkan bahwa alam semesta berumur 15 miliar tahun. Lewat buku ini pula ia memperkenalkan Kalender Kosmik, yakni kalender yang memuat usia alam semesta – beserta kejadian-kejadian penting yang telah terjadi – ke dalam satu tahun kosmik. Satu detik dalam satu tahun kosmik setara dengan 475 tahun (revolusi bumi terhadap matahari). Di kemudian hari, tepatnya di tahun 2014 Neil deGrasse Tyson, yang merupakan murid Carl Sagan, lewat acara tvCosmos: A Spacetime Odysseymemperkenalkan kalender kosmik dengan jangka waktu 13,8 miliar tahun dan tiap detiknya menjadi 438 tahun.
3Mengenai terciptanya awal semesta dan bermulanya waktu telah dijelaskan dengan sangat baik oleh Stephen Hawking lewat bukunyaA Brief of History of TimedanThe Theory of Everything.
4Albert Einstein dalam teori Relativitas Umum menjelaskan bahwa benda dengan gravitasi yang kuat dapat menyebabkan ruang dan waktu di sekitar benda tersebut membengkok/melengkung. Baca Albert Einstein,Relativity: The Special and General Theory.Melengkungnya ruang dan waktu memengaruhi banyak hal khususnya apa yang selama ini sudah dianggap ajeg menurut Newton. Konsep tentang berat badan yang didasari oleh hukum ketiga Newton tentang aksi-reaksi membuat berat badan seseorang di bumi jauh lebih berat dibandingkan berat badan seseorang ketika di Mars.
5Sebenarnya masih banyak filosof lain yang membahas waktu. Namun yang digunakan di sini ialah filosof kontemporer karena sejak awal tulisan ini berisi tentang kajian-kajian sains modern. Periodisasi filsafat dan fisika tentu berbeda. Jika periode filsafat modern berakhir di abad 19 dan memulai periode kontemporer di sejak awal abad 20 maka periode fisika modern baru diawali di awal abad 20 dengan gebrakan fisika kuantum Max Planck dan relativitas Albert Einstein.
6Penekanan akan keseluruhan ini menjelaskan sebuah kesadaran yang menyeluruh bukan kesadaran yang berbeda tiap waktunya. BacaHenri Bergson,Essay on the Immediate Data of Consciousness.Hal yang serupa ditemukan dalam filsafat Muhammad Iqbal ketika ia mendefiniskan apa itu ego. Baginya ego bukanlah yang kemarin, sekarang, atau besok. Melainkan keseluruhan sejak awal, sekarang, dan seterusnya. Baca Muhammad Iqbal,The Reconstruction of Religious Thought in Islam.
Maulana Ilham, mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam 2015, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta