Moh. Hakim: Pengalaman Short-course di National University of Singapore

Terhitung sejak tanggal 27 Oktober sampai 8 November 2019, saya dan tiga kawan lainnya terpilih untuk menempuh Short-course di National University of Singapore, Department of Malay Studies. Program yang bernama Student Academic Visit to Foreign Country (SAVIOR) ini adalah bentuk kerjasama akademik antara kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan kampus negara Asia lainnya seperti Singapore, Thailand, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Tujuan utama dari program ini adalah untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga berupa pengalaman kuliah bertaraf international.

**

Selama dua pekan di Singapore, saya mencatat, sedikitnya, dua kesan akademik yang utama;

Pertama, dari lingkungan kampus yang tertib, bersih, dan rapi. NUS memiliki atmosfer akademik yang boleh dibilang professional dalam menunjang kebutuhan akademik mahasiswanya. Misalnya dari sisi fasilitas penunjang perkuliahan yang baik dan Setiap kelas biasanya diisi tak lebih dari 20 orang mahasiswa. Sehingga kondisi ini memungkinkan dialog antara dosen dan mahasiwa lebih kondusif.

NUS juga memiliki budaya akademik yang ideal baik dalam kerja akademik dan non akademik. Salah satu yang memikat perhatian saya adalah adanya tertib akademik yang memungkinkan proses belajar tidak terdapat distraksi apapun. NUS memang men-setting lingkungan kampus yang kondusif dalam belajar, diskusi, serta membaca. Jadi, selama di kampus ini, kita tak akan melihat mahasiswa NUS yang ngobrol tanpa membahas problem akademik apapun, apalagi gossip atau ngerumpi seperti kebanyakan mahasiwa UIN.

Bila anda hendak mau ngerumpi atau menggosip, kita dianjurkan untuk keluar dari Gedung fakultas dan menuju ke Kantin kampus ( food-court Campus). Di kantin inilah, anda bebas menggunjing dan menggosip. Begitu professional!

Kedua, kompetensi dan dedikasi Dosen. Dosen sebagai seorang pendidik di NUS bukanlah kerja main-main, tak sekedar mengajar mahasiswanya, disini seorang dosen dituntut juga untuk terlibat dalam proses belajar dan melakukan penelitian. Informasi ini saya tahu ketika saya mendapat kesempatan ngobrol langsung dengan tiga orang dosen yang mengajari saya; mereka adalah Dr Ahzar Ibrahim sebagai pimpinan Department Malay Sudies. Kajiannya berfokus pada bidang Sastra Melayu; Prof Noor Aisyah binte Abdol Rahman. Beliau fokus pada kajian hukum Islam Melayu; dan Prof Suryani sebagai seorang dosen yang mengajari saya tentang kajian feminism. Mereka ini adalah tiga diantara banyak dosen yang berhasil saya temui dan saya ikuti kuliahnya.

Dari mereka saya belajar bahwa seorang dosen tak hanya memberikan repetisi materi perkuliahan yang biasanya tak uptodate. Dalam setiap sesi perkuliahan, mereka telah melakukan penelitian terlebih dahulu sebelum mengajar sehingga bahan ajar tersebut memang layak untuk disampaikan kepada mahasiwa dan mampu memancing perdebatan akademik yang bermutu. Saya kagum kepada mereka akan keluasan ilmunya dan dedikasi akademiknya. Begitu berbanding terbalik dengan “sebagian” staf pengajar di kampus Indonesia yang pernah saya temui dan ikuti perkuliahannya.

*Moh. Hakim Mu’tashim Billah, mahasiswa Prodi AFI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta