Pengembaraan Diri Menuju Makna: Catatan dari Seorang Murid Jauh untuk Syekh Syaifan Nur

Pagi hari, Senin 29 Juni 2020, saya mendapatkan kabar yang sangat menyedihkan lewat Whatsapp. Innalillahi... Sang Syekh telah pergi.

Tulisan ini sama sekali tidak untuk memberitahu seberapa dekatnya saya dengan beliau Syekh Syaifan Nur, karena memang saya ini mahasiswa yang tidak terlalu dekat dengan beliau. Berbicara panjang lebar dengan beliau pun tidak pernah. Hanya seorang mahasiswa yang memperhatikan sang guru mengajar di depan kelas dan sesekali papasan di sekitaran kampus UIN Suka – saya tidak lebih dari itu.

Dari pengalaman yang sedikit itu saya pun mendapatkan kesan yang sangat dalam soal spiritualitas – tidak hanya sekadar teori namun soal kedalaman makna. Sebagai seorang murid, sejak kecil saya dididik kalau sama guru agama tuh jangan sok tahu dan harus patuh, sami'na waatha'na. Itulah alasan saya tidak pernah berbicara secara intens kepada beliau. Saya selalu merasa ada gap yang terlalu jauh antara diri saya pemuda yang penuh dengan kesalahan ini dengan Syekh Syaifan. Takut jika saya salah ngomong. Antara siap dan tidak siap jika beliau memberikan wejangan sehingga membuat saya memiliki beban moral untuk memikulnya.

Sebagai mahasiswa tentu banyak pemikiran tokoh yang kita baca. Kita mengenal Nietzsche, Foucault, Kant, Hume, dan juga para saintis modern seperti Yuval, Dawkins, dan lainnya. Membaca mereka ya sudah cukup membaca dan paham. Rasa kagum pun tidak lepas dari betapa hebatnya karya tersebut. Namun hal yang berbeda akan kita dapati jika kita membaca pemikiran tokoh mistisisme. Misalnya Maulana Rumi, Ibn Arabi, Imam al-Ghazali dan lain sebagainya. Membaca mereka tidak hanya memunculkan kekaguman terhadap karyanya tapi juga kekaguman terhadap sosok personalnya sebagai seorang insan yang matang. Itulah yang memunculkan rasa kedekatan secara emosional terhadap para sufi dan mistisisme lainnya – yang jarang kita dapatkan pada filosof dan saintis yang sama sekali tidak menyentuh sisi spiritualitas.

Saya senang sekali melihat gambar diri seorang arif. Ada ketenangan tergambar di wajahnya. Lihatlah gambar Maulana Rumi, Mahatma Gandhi, atau bahkan Buddha dan Yesus. Kita akan melihat ada ketenangan yang menggambarkan, saya menyebutnya, "sedang tidak di sini". Fisiknya ada di dunia, namun jiwanya "sedang tidak di sini". Bukan sedang melamun tapi jiwanya sedang terbang bebas sehingga tidak terlalu menghiraukan persoalan duniawi. Dan aura itulah yang saya lihat pada Syekh Syaifan Nur. Kekaguman diri saya kepada Syekh Syaifan tidak hanya karena ilmu teoritis yang ia ajarkan di kelas namun juga karena kematangan dirinya secara personal.

Kalau banyak orang memasang ekspresi terbaiknya ketika di depan kamera, maka Syekh Syaifan memasang ekspresi seperti hari-hari biasanya. Kebanyakan orang ingin menggambarkan bahwa dirinya sedang baik-baik saja dengan senyuman di depan kamera sedangkan Sang Syekh menampilkan dirinya yang memang selalu baik-baik saja walaupun tidak di depan kamera. Aura menyenangkan dan ramah itu murni muncul dari ketenangan jiwanya – bukan dibuat-buat.

Yang selalu beliau ingatkan kepada kami, para anak muda ini, ialah untuk segera memulai laku spiritual. Penuhi waktumu dengan dzikrullah. Oleh sebab itu sesuai dengan adab beribadah maka diri harus dipersiapkan untuk selalu dalam keadaan suci sehingga siap untuk mengucapkan kalimat-kalimat yang baik. Tidak hanya untuk mengucapkan kalimat yang bernilai ibadah melainkan juga untuk mengucapkan nama seorang syekh yang arif.

Pada poin ini kita yang merasa diri sok rasional ini akan menganggap bahwa saran seperti itu terlalu dogmatis. Wajar anggapan seperti itu terjadi karena kita merasa tidak ada jarak antara diri kita dengan para arif yang bijaksana – atau bahkan kepada Tuhan sendiri. Besar diri itulah yang membuat pengetahuan jadi "susah masuk" ke dalam diri kita.

Dalam fenomenologi diberitahu bahwa untuk memahami sesuatu diperlukan kesadaran yang mengarah kepada sesuatu tersebut agar bisa mencerap seutuhnya. Itulah yang disebut dengan intensionalitas. Cara mengarahkan kesadaran kepada sesuatu ialah dengan melakukan penundaan (epoche) terhadap asumsi-asumsi diri kita terhadap sesuatu tersebut yang dapat mengaburkan makna sesungguhnya. Dengan menunda dan melucuti segala asumsi terhadap apa yang ingin kita ketahui akan memunculkan makna.

Meminjam teori fenomenologi Husserl ini, yang intinya secara sederhana ingin melucuti asumsi untuk mendapatkan makna yang sebenarnya, saya pun teringat tentang bagaimana penyucian jiwa (tazkiyatunnafs) dalam tasawuf menjadi langkah pertama dan fondasi dalam mendapatkan pengetahuan. Penyucian jiwa ini menjadi salah satu problem bagi mahasiswa sok rasional yang sedang mencari ilmu. Bagaimana bisa hanya dengan penyucian jiwa, lantas kita mendapatkan pengetahuan? Eh, tunggu dulu tunggu dulu, kata Sang Syekh.

Dalam tradisi Islam kita mengetahui bahwa pengetahuan didapatkan karena fadhilah Allah, yang memegang kebenaran mutlak. Dialah yang berhak memberikan pengetahuan kepada siapa pun yang Ia kehendaki. Namun kalimat tersebut jangan dianggap bahwa Allah berkehendak semaunya, misalnya dengan memberikan pengetahuan ke orang pertama tapi tidak ke orang kedua meski orang kedua lebih giat belajarnya daripada orang pertama yang setiap hari hanya rebahan. Ini lagi-lagi hanyalah asumsi.

Penyucian jiwa berjalan bersamaan dengan kematangan psikis seseorang. Dengan jiwa yang suci maka akan ditemukan kedewasaan pemikiran dan tindakan seseorang. Dengan begitu ia mampu untuk mengatur emosinya, termasuk asumsinya, ketika menganalisis sesuatu. Dengan kematangan jiwa dan kedewasaan pikiran maka pengetahuan pun akan lebih "mudah masuk" daripada ketika jiwa sedang penuh dengan kegelisahan.

Jadi hadirnya pengetahuan kepada diri seseorang itu disebabkan karena wadah diri seseorang sudah siap untuk menerima pengetahuan. Terlalu njlimet-nya kita ketika membaca buku meski sudah berkali-kali disebabkan terlalu gelisahnya diri untuk memahami buku tersebut. Kita terlalu banyak memberikan asumsi dan dugaan kepada apa yang kita baca sesuai dengan pra-pemahaman kita. Itu membuat informasi baru dari buku tersebut "susah untuk masuk" karena terlalu penuhnya wadah diri dengan kegelisahan dan berbagai asumsi di dalamnya.

Hemat saya itulah yang ingin diajarkan oleh Syekh Syaifan Nur dalam kuliahnya. Memang beliau mengajar dengan mengalir saja tanpa halangan, dan kita sebagai mahasiswalah yang harus menangkap maksudnya. Jiwa kita terlalu penuh dengan kegelisahan dan banyak asumsi ketika ingin mempelajari sesuatu – termasuk tasawuf. Penyimpulan yang terburu-buru disebabkan pengaruh dari emosi kita. Itu membuat proses berpikir kita didominasi oleh emosi sehingga tidak mendapatkan makna yang sesungguhnya dari teks. Dengan membersihkan jiwa lewat dzikrullah maka wadah diri akan siap untuk menerima pengetahuan yang tidak lain merupakan pancaran dari Allah.

Hari itu pun tiba ketika bis rombongan Sulthan al-Auliya menjemput Syekh Syaifan Nur untuk membawanya pulang dengan penuh ketenangan duduk di kursi penumpang.

*Ilham Maulana, alumni Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Angkatan 2015

Berita Terpopuler